Memakan Hidangan Ketika Takziyah
Masalah ini termasuk masalah klasik yang sering mengusik persaudaraan di tengah umat, karena ada dua pandangan yang berbeda.
Sebagian orang cenderung mengharamkan memakan makanan yang dihidangkan di tempat takziyah atau di tempat kematian. Ada banyak dalil yang disodorkan hingga mengunci mati kebolehan makan dan minum di tempat duka. Bila ada sebuah rumah yang kematian anggota keluarganya, segelas air pun haram dihidangkan. Kalau pun dihidangkan, dikeluarkan fatwa keharamannya. Walau pun hanya seteguk.
Dasarnya antara lain apa yang anda kutipkan itu, " jika ada saudaramu meninggal datanglah dan hiburlah atau berikan sesuatu ."
Sedangkan sebagian lainnya tidak sampai mengharamkan makanan di tempat takziyah itu. Alasannya pun masuk akal, meski berbeda pandangan dengan pendapat yang pertama.
Bagi mereka, sekedar memberi seteguk dua teguk air minum dan menghidangkan makanan kecil dengan niat menghormati tamu, tidak mengapa. Sebab hidangan itu diberikan pihak keluarga dengan sepenuh keikhlasan hati, dengan niat ibadah dan menghormati tamu yang datang.
Justru keluarga yang sedang berduka akan tambah dukanya, kalau tamunya tidak mau makan atau minum.Buat sebagain orang, bila tamu tidak mau memakan hidangan yang disediakan, mereka akan merasa kecewa dan merasa kurang dihargai. Dan keadaan ini malah akan menambah duka bagi keluarga yang memang sedang berduka.
Titik Masalah
Kalau kia tarik garis tengahnya, barangkali duduk masalahnya ada pada bagaimana menilai hidangan dan memakannya. Apakah memakan hidangan itu semakin membuat keluarga berduka atau malah bahagia?
Pendapat pertama mengatakan bahwa dengan memakan hidangan, keluarga shahibul bait akan tambah dibuat susah, karena itu haram bagi kita untuk memakan hidangan, apa pun bentuknya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa keluarga shahibul bait tidak dibuat susah dengan sekedar menghidangkan minuman kemasan atau makan kecil. Justru mereka tambah bahagia dengan kedatangan tamu dan bisa menghidangkan sesuatu sekedar untuk menghormati tamunya. Kalau tamunya tidak mau memakan hidangan itu, justru bagi keluarga merupakan sebuah penghinaan, pelecehan atau kurang hormat kepada tuan rumah.
Karena menghidangkan sesuatu kepada tamu sudah merupakan tradisi yang berlaku, dalam keadaan apa pun.
Jalan Keluar
Mungkin kita bisa coba cari titik temu di antara kedua, asalkan kita bisa duduk bersama dengan hati tenang. Bukan dengan semangat untuk saling menyalahkan, atau ingin menang sendiri.
Misalnya, biar tuan rumah lega hatinya, kita beri kesempatan agar mereka menghidangkan makanan atau minuman. Yang penting kita beri mereka ‘uang pengganti’ yang lebih banyak.
Anggaplah kita buat hitung-hitungan secara materi, kalau tuan rumah menghidangkan air minum kemasan gelas yang harganya Rp 500, maka kita beri sumbangan uang duka cita seharga Rp 50.000. Ini berarti 100 kali lipatnya.
Kira-kira, kalau dapat uang duka cita 100 kali lipat dari biaya menghidangkan, apakah tuan rumah akan sedih atau akan bahagia?
Rasanya mereka akan bahagia, bukan?
Katakanlah untuk menghormati para tamu yang datang bertakziyah, tuan rumah harus merogoh kocek total 1 juta, tetapi uang duka yang terkumpul 10.000.000
Kami kira tuan rumah akan bahagia hatinya, ‘modal’ hanya 1 juta tapi dapat uang menjadi 10 juta.
Apalagi bila semua urusan konsumsi dan hidangan sudah ditangani oleh pihak lain, misalnya tetangga, teman, atau kelompok majelis taklim dan sebagainya. Jadi tuan rumah sama sekali tidak perlu merogoh kocek sepeser pun, tiba-tiba di kotak uang duka terkumpul 10 juta, maka pasti sangat berbahagia.
Jadi seandainya kita bisa mencari titik-titik temu dalam berpendapat, Islam itu akan menjadi indah. Sebaliknya, kalau kita hobi berbeda pendapat dan tidak mau saling mengalah, maka Islam adalah debat tidak habis-habisnya. Yah, yang waras mengalah saja.
Wallahu a’lam bishshawab,
wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar